Sabtu, 18 Juli 2009

namanya:KHIANAT

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Eh, aku bukan setan, lho. Kebetulan saja rupaku seperti iblis. Aku ingat, dalam buku tebal yang kuintip di rumah seorang pakar bahasa, namaku bermakna perbuatan tak setia; tipu daya, dan bertentangan dengan janji. Membacanya jidatku berkerut, dulu itu.
Dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad ke abad, kupikir-pikir buku milik ahli bahasa itu benar juga. Hidupku memang penuh siasat untuk menipu, sarat taktik menghasut. Sampai-sampai, muncul anggapan bahwa aku keji, kejam, dan tak berperasaan. Aku pengacau. Biar sajalah. Toh, kenyataannya begitu. Sehari-hari kerjaku memang merayu orang agar tak menghargai kesetiaan, ingkar dari janji sehidup semati. Aku adalah musuh loyalitas. Deduri bagi ketulusan agung.
Perjalanan hidupku yang panjang, membuat kupaham betul jiwa-jiwa yang sudah kusinggahi. Di antara mereka ada yang kaya, tak sedikit pula yang melarat. Ada yang terkenal, termasuk juga dari kalangan biasa. Malah, beberapa di antara mereka kerap muncul di layar televisi, berbicara tentang moral seperti orang suci. Ada juga yang pendiam dan lebih senang sibuk di belakang layar. Tak semuanya berhasil kuseret pada liang mudarat, memang. Tapi, cukup banyak pula yang sukses kuajak menari-nari di kubangan nista.
Setiap kali sukses mengajak orang-orang itu agar melupakan kesetiaan, aku selalu berpesta bersama teman-teman. Kami mabuk-mabukan, berjudi, teriak-teriak, bersanggama sambil tak lupa bertukar pasangan, mengguncingkan tren yang sedang digandrungi selebriti dunia, ngobrol ngalor-ngidul soal bumi yang semerawut—sekadar menunjukkan bahwa kami peduli—lalu tertawa-tawa laksana musuh yang mampu mengalahkan pendekar hebat. Aku menggelar pesta keberhasilan itu di mana saja. Di kamar-kamar mahal apartemen mewah, di basement gedung tua yang kusam, malah bisa juga di lorong-lorong comberan yang jorok. Teman-teman yang selalu menemaniku berpesta adalah Si Dengki yang kucel, Si Iri yang buleng, Si Sirik yang kumal, Si Buruk Sangka yang brengsek banget, dan banyak lagi lainnya, yang sumpah mampus, tak satu pun enak dilihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar